Anne Avantie Kreativitas tanpa batas Tatkala namanya mulai melambung lewat karya gaun malam, perancang busana ternama Anne Avantie malah banting setir. Ia memilih kebaya. Keinginan membuat kebaya meletup begitu saja di benak Anne. Ia hanya berpikir, memodifikasi busana yang menyimbolkan kelembutan dan ketangguhan perempuan itu bisa tampil lebih eksotis dengan tanpa meninggalkan ruh orisinil kebaya. Dengan sepenuh energi cinta, pemilik nama asli Sianne Avantie itu memodifikasi kebaya. Tak peduli meski diklaim menerabas pakem kebaya, yang jelas Anne ingin membuat kebaya tampil luar biasa.Tak sia-sia, hasil kerjanya berbuah manis. Kebaya kreasi Anne yang berkarakter dan khas memukau banyak orang. Anne lalu menjadi ikon kebaya kontemporer Indonesia. Kebaya pun lantas tampil menjadi busana yang lebih universal. Lewat karyanya itu, Anne pun dipercaya merancang kebaya untuk miss universe. Beragam penghargaan pun mengalir bertubi-tubi. Itulah sebabnya, sebagai bagian ungkapan rasa syukur, beberapa waktu lalu Anne menghelat pergelaran tunggal karya-karyanya untuk memeringati dua dekade berkarya di dunia fesyen. Karena bisa berkarya dalam rentan waktu selama 20 tahun bukanlah hal mudah. “Memelihara membutuhkan citra dan stamina,” ujarnya saat dijumpai Espos di Restoran Ramayana Solo, Selasa (16/11) malam. Trauma Meski demikian, pencapaian itu tak membuat anak pertama dari tiga bersaudara pasangan Hary Alexander dan Amie Indriati ini tinggi hati. Ia merasa tetaplah perempuan biasa. Seperti malam itu, Anne tampil sederhana. Berbusana batik dari kain-kain perca, ibu tiga anak ini tampil anggun dengan rambut yang disanggul. Aksesori bunga kamboja pada sanggul kian menambah keanggunan Anne. Tak ada perhiasan yang melekat di tubuhnya. Kecuali hanya kalung dari kayu berliontin salib mungil. “Saya tidak ingin mengubah image. Ini sanggul asli. Rambut panjang saya sampai pantat,” urainya. Bagi Anne, keberhasilan yang sudah diraih tak lebih dari ganjaran rentetan tempaan hidupnya. Sejak belia, Anne sudah dikenalkan bagaimana penciptaan busana, membuat kerajinan tangan sampai urusan berdandan. Anne kecil antusias menerima pengalaman-pengalaman itu. Bahkan Anne sudah mampu membuat pita rambut dan menjualnya di sekolah. Kreativitasnya terasah hingga remaja. Sayang, kreativitas yang makin membuncah itu terenggut sejak ayah dan ibundanya bercerai. Praktis, hidup dalam suasana rumah yang tak nyaman membuat Anne remaja tertekan dan trauma. Di tengah kekalutan itu, Anne yang masih duduk di bangku kelas II SMA, lari dari Solo menuju Semarang dan tinggal bersama sang kakek. “Satu pelajaran berharga, saat mendapatkan masalah janganlah lari pada orang yang tidak kenal,” ujarnya. Namun, tetaplah mendekat pada keluarga. Di Semarang, kehidupan Anne berangsur normal. Ia berusaha memendam luka batinnya. Tak lama setelah lulus SMA, Anne memutuskan untuk menikah. Kala itu ia berpikir pernikahan adalah obat mujarab mencapai ketenangan. Tetapi prediksinya meleset. Anne gagal memertahankan biduk rumah tangga. Di tengah kelimbungannya, ia lalu meninggalkan Semarang dan hijrah ke Solo. Kala itu Anne sudah mengandung anak pertamanya. Demi menyambung hidup ia berjualan apa saja. Termasuk menjual manisan mangga yang dititipkan ke sekolah-sekolah. Alhasil, demi melakoni itu semua, tiap pukul 03.00 WIB dini hari dengan mengendarai sepeda motor butut, Anne sudah meluncur ke Pasar Gede Solo untuk membeli mangga lalu mengolahnya menjadi manisan. Pekerjaan itu ia jalani selama beberapa tahun. Dua ibu jarinya yang tampak melepuh hingga kini seolah menjadi saksi kerja keras Anne saat itu. “Lihat! Ini bekas kena citrun membuat manisan mangga sampai sekarang belum hilang,” ujarnya sambil menunjukkan dua ibu jari tangannya yang tampak melepuh. Bukan hanya berjualan manisan mangga, demi menambah pundi-pundi penghasilannya, adakalanya Anne membeli remukan emping lalu menggoreng dan mengucuri dengan gula jawa. Kemudian membungkus emping dalam plastik kecil. “Bahkan saya juga jaga pasar malam di Sriwedari. Tapi orang tidak pernah tahu itu,” ungkapnya. Kehidupannya mulai stabil seusai Anne kembali menikah dan tinggal di Semarang. Berbekal keterampilan mendesain busana, ia pun lalu membuka usaha jasa jahit pakaian di garasi rumahnya dengan nama Griya Busana Permatasari. Dari ruang mungil di rumahnya itulah, kreativitas Anne merekah. Ia membikin kostum tari sampai gaun malam. Hingga sekitar tahun 1990-an, Anne mengikuti sebuah fashion show. “Dari acara itu mulailah saya disebut desainer. Karena MC memanggil saya desainer,” kenangnya. Terang saja, momentum itu menjadi semacam titik balik yang mengantarkannya memiliki nama besar seperti sekarang. Meskipun demikian Anne tak serta merta larut dalam dunia yang membesarkan namanya itu. Walau sibuk, Anne juga tetap tak melupakan fitrahnya sebagai ibu dan istri. Maka setiap pagi ia selalu meramu sendiri sarapan untuk keluarganya. Bagi Anne, pekerjaan itu bukanlah soal menyempatkan atau tidak, tetapi lebih pada panggilan jiwa. – Oleh : Fetty Permatasari
Melalui : tokohsurakarta.wordpress.com/.../anne-a...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar