DUA dasawarsa Anne Avantie berkarya dalam industri fashion di Indonesia menjadikan sebuah tonggak baru eksplorasi garis rancang dan siluet kebaya. Proses kreatif kebaya artistik Anne menjadikan kebaya rancangannya tersebut terus melesat dan menginspirasi para pelaku industri fashion. Karyanya selalu menjadi perbincangan hangat tak hanya di dalam tetapi juga di luar negeri. Desain yang diciptakannya mampu menembus garis batas kedaerahan tanpa meninggalkan akar budaya bangsa.
Muara dari semua itu, muncullah ’’karya kebaya Anne Avantie’’ yang dikloning oleh banyak kalangan, dari penjahit hingga desainer bahkan juga ada di pasar sampai ke butik. ’’Meski karya saya banyak diplagiat orang tetapi saya bersyukur Tuhan telah memilih untuk menjadi saluran berkat bagi banyak orang,’’ ungkap Anne di sela-sela kesibukannya mengurus anak-anak Wisma Kasih Bunda (WKB), belum lama ini.
Semuanya diawali dari garasi rumah kontrakan di Jalan Puri Anjasmoro pada awal tahun 1989. Dengan tiga mesin jahit tanpa dinamo, wanita kelahiran Semarang, 20 Mei, 47 tahun silam itu membuat tempat koleksi baju dance yang disewakan mulai dari kostum tari, asesoris hingga sepatu bernama Griya Busana Permatasari.
Ketika itu semuanya masih buram karena Anne mencoba mengawali lagi dari awal setelah terpuruk dalam rumah tangganya yang pertama. Ia pun mencoba bangkit dengan keluarga barunya bersama sang suami, Henry Susilo serta Intan putrinya.
Tujuannya hanya satu yakni mencari uang untuk biaya hidup. Kemapanannya kini memang tak bisa dilepaskan dari peran ibundanya Amie Indriati yang berkecimpung di bidang kecantikan dan fashion. Anne tak pernah mimpi jadi desainer karena ia menyadari betul pendidikannya terbatas hanya setingkat SMA dan pengetahuan dasar tentang mode pun tak dimilikinya. Sang bunda menuntunnya menjadi ’’sangat perempuan’’ dan harus menyelesaikan pekerjaan seperti menjahit, menyulam, membuat pita, merangkai manik-manik untuk membuat bonsai, dll.
Talentanya pun terasah menjadi pribadi yang unik, gemar mencipta seragam koor, marching band dan grup dance. Dari tempat persewaan itu, Anne mendapatkan uang sewa kostum tari Rp 5.000/potong. Kebanyakan penyewa adalah beberapa grup tari yang sering jawara memakai jasanya dan ini menjadi promosi jitu bagi usahanya. Rupanya, keuletannya bermain warna ketika itu dalam menciptakan kostum dan sepatu memberikan pengalaman berharga. Berulangkali terjadi proses pewarnaan dan semakin sering gagal mencampur warna, Anne justru menemukan warna-warna baru yang tak terduga
Tidak ada komentar:
Posting Komentar